Minggu, 20 April 2008

"KARTINI" DAN GERBONG REFORMASI

Menyambut Hari Kartini 21 April

Oleh Andi Gunawan

Emansipasi wanita/perempuan kerap disalah artikan oleh sebgaian dari kita, yaitu dengan mengejar karir setinggi langit, kesetaraan jender yang kebablasan, bahkan dengan mengorbankan kodratnya sebagai perempuan. Padahal sesungguhnya apa yang diperoleh dari itu semua terlebih mengorbankan kodratnya sebagai perempuan adalah kekalahan bagi perempuan yang paling telak.

Kodrat perempuan yang lazim kita kenal adalah bahwa setelah seorang perempuan menikah, kemudian akan mengurus keperluan suaminya, melahirkan anak dan menjaganya hingga dewasa. Bentuk kehidupan bagi sebagaian perempuan seperti di atas adalah salah satu bentuk kebahagian yang paling alami, namun bagi sebagian yang lain bentuk kehidupan tersebut adalah pengekangan dimana wanita tidak bebas bergerak dalam menentukan hidupnya sebagaimana laki-laki.

Atas dasar penolakan bentuk kehidupan di atas, maka sebagian perempuan menyuarkan adanya kesetaraan jender antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai bidang kehidupan. Kesetaraan tersebut lebih kita kenal dengan emansipasi wanita/perempuan.

Kesetaraan jender atau emansipasi wanita yang berasal dari barat terkadang kebablasan, mengejar karir setinggi langit dan melupakan kodratnya sebagai perempuan, akibatnya banyak perempuan di Negara-negara barat enggan menikah bahkan enggan untuk melahirkan. Efek yang paling fatal adalah pertumbuhan penduduk menjadi nol bahkan minus, ini artinya mengancam kelangsungan hidup umat manusia di negara tersebut.

Emansipasi yang disuarakan oleh Kartini, sebenarnya lebih menekankan pada tuntutan agar perempuan saat itu memperoleh pendidikan yang memadai, menaikkan derajat perempuan yang kurang dihargai pada masyarakat Jawa, dan kebebasan dalam berpendapat dan mengeluarkan pkiran. Pada masa itu tuntutan tersebut khususnya pada masyarakat Jawa adalah lompatan besar bagi perempuan yang disuarakan oleh perempuan.

Perintis kesetaraan jender di Indonesia tidak hanya Kartini, ada Tjut Nyak di Aceh yang memimpin sebuah pasukan perang mengusir penjajah menggantikan suaminya Teuku Umar. Tjut Nyak Dien merupakan salah satu contoh paling baik emansipasi wanita dan kesetaraan gender di Indonesia karena beliau adalah pemimpin tidak hanya bagi kaum wanita tapi juga laki-laki.

Perintis yang lainnya adalah Tjut Meutia, Laksamana Tjut Malahayati, Martha Kristina Tiahahu, Dewi Sartika dan sebagainya.

Dalam memperingati hari Kartini 21 April, yang kita harapkan tentu semangat Kartini dan perintis kesetaraan jender menjadi teladan bagi wanita Indonesia. Namun yang harus kita ingat bahwa dalam memperjuangkan kesetaraan gender tidak melupakan kodratnya sebagai wanita.

Dibawah ini ada satu artikel menarik dari INTISARI on the Net, edisi April 2001 yang berjudul Emansipasi Wanita :

EMANSIPASI WANITA

Salah satu persepsi publik paling popular adalah anggapan bahwa makna emasipasi wanita adalah perjuangan kaum wanita demi memperoleh persamaan hak dengan kaum pria. Persepsi itu keliru, namun kaprah dipertahankan, sampai Menteri Urusan Wanita pun lantang mencanangkannya sebagai pekik perjuangan resmi kaum wanita Indonesia.

Makna emansipasi wanita sebenarnya bukan demi memperoleh persamaan hak dengan kaum pria. Apabila hak kaum wanita disamakan dengan pria, malah akan merugikan pihak wanita! Sebaliknya, hak kaum pria, secara kodrati, juga mustahil disamakan dengan wanita, akibat realita kewajiban masing-masing jenis kelamin dengan latar belakang biologis kodrati yang tidak sama.

Secara kodrati, meski dipaksakan dengan cara apa pun, kaum pria tidak mungkin melakukan perilaku kodrati wanita, seperti menstruasi, pregnasi, laktasi (datang bulan, mengandung (plus melahirkan), menyusui). Allah memang menciptakan sifat-sifat biologis kodrati pria beda dengan wanita. Bentuk alat kelamin pria juga diciptakan Allah, berbeda dari wanita, justru demi fungsi reproduksional agar makhluk manusia tidak punah.

Keliru sambil merugikan, jika kaum wanita berjuang untuk memperoleh hak yang sama dengan hak pria. Karena berdasar latar-belakang kodrati yang berbeda, di dunia tenaga kerja di Indonesia masa kini, kaum wanita justru memiliki kelebihan hak ketimbang pria, yakni cuti menstruasi, hamil sekaligus melahirkan. Dengan hak cuti dua hari setiap bulan di masa menstruasi, masih ditambah hak cuti tiga bulan = 90 hari di masa hamil dan melahirkan, seorang pekerja wanita malah memiliki kelebihan hak cuti selama: 90 + (12 x 2) = 114 hari ketimbang pria.

Apabila hak pekerja wanita disamakan dengan pekerja pria, maka langsung hak lebih 114 hari itu akan lenyap, demi kerugian wanita. Sebaliknya tidak ada alasan, bagi pekerja pria untuk disamakan hak cuti kodratinya dengan pekerja wanita, akibat latar belakang realita kodrati biologis kaum pria mustahil memenuhi syarat untuk memperoleh cuti. Menggelikan, jika pekerja pria menuntut hak cuti kodrati mereka, misalnya cuti ereksi, atau cuti menghamili, yang secara fisik sebenarnya cukup melelahkan itu. Yang lebih produktif sebenarnya adalah perjuangan agar pekerja wanita memperoleh hak atas imbalan gaji sesuai realita kemampuannya, setara dengan yang diterima pekerja pria dengan kemampuan sama.

Secara kultural, jika hak wanita disamakan dengan pria, juga merugikan wanita! Karena dengan persamaan hak, maka kaum wanita, terutama yang sedang hamil, akan kehilangan hak kultural untuk dilindungi, dan prioritas kemudahan di saat-saat khusus, seperti hak memperoleh tempat duduk yang layak di kendaraan umum, atau hak untuk terlebih dahulu diselamatkan di saat bencana atau kecelakaan, maupun hak untuk memperoleh prioritas kehormatan seperti dibukakan pintu mobil, dipayungi di saat hujan, dan aneka adat istiadat tata kesopanan yang menguntungkan kaum wanita lainnya.

Makna emansipasi wanita yang benar, adalah perjuangan kaum wanita demi memperoleh hak memilih dan menentukan nasib sendiri. Sampai kini, mayoritas wanita Indonesia, terutama di daerah pedesaan dan sektor informal belum sadar atas, apalagi memiliki, hak memilih dan menentukan nasib mereka sendiri, akibat normatif terbelenggu persepsi etika, moral, dan hukum genderisme lingkungan sosio-kultural serba keliru. Belenggu budaya anakronistis itulah yang harus didobrak gerakan perjuangan emansipasi wanita demi memperoleh hak asasi untuk memilih dan menentukan nasib sendiri.

MERAYAKAN HARI KARTINI

Merayakan hari Kartini bersama anak-anak biasanya identik dengan berpakaian daerah yang berwarna-warni, dan menyanyikan lagu-lagu daerah serta lagu Ibu Kita Kartini. Bagi saya, perayaan hari Kartini bukan semata-mata memperingati perjuangan Kartini, tapi sekaligus memperingati perjuangan para pahlawan wanita lainnya. Bahkan mungkin juga memperingati perjuangan kaum pria yang membantu para pejuang wanita kita.

Kebhinnekaan adalah kekayaan utama kita, tetapi tanpa pendidikan dasar yang benar bisa berbalik menjadi sumber petaka pertikaian. Apa yang diperjuangkan Kartini pada dasarnya adalah kesempatan untuk mendapatkan pendidikan bagi kaum wanita. Hal ini sesuai dengan konteks keadaan di Jawa pada tahun 1900, satu abad yang lalu! Raden Ajeng Kartini dilahirkan pada tanggal 21 April 1879. Pada waktu itu kaum pria lebih berpeluang mendapatkan pendidikan daripada kaum wanita. Seandainya Kartini ada pada saat ini, tentunya dia akan memperjuangkan hak setiap anak (entah pintar atau kurang pintar) untuk mendapatkan pendidikan.

Bila kita membaca buku kumpulan surat-surat Kartini, akan terasa benar betapa maju jalan berpikirnya sebagai seorang anak gadis yang hanya bersekolah sampai tingkat SD. Ada yang meragukan keaslian surat Kartini, tapi kalau membacanya secara lengkap rasanya terlalu sulit untuk mengatakan bahwa orang asing yang mengarang surat-surat itu karena isinya bisa menguraikan budaya Jawa secara demikian gamblang. Ironisnya, saat cukup banyak bangsa Indonesia yang meragukannya, malah orang asing lebih percaya dan berpikir bahwa surat-surat Kartini merupakan kritik pedas pada bangsa Belanda tapi diperhalus oleh Abendanon untuk tujuan politiknya.

Surat-surat Raden Ajeng Kartini dibukukan oleh Abendanon sebagai “Door Duisternis Tot Licht” pada tahun 1911. Dalam biografi Kartini di www.duniasastra.com, dijelaskan bahwa terjemahan sesungguhnya dari kalimat ini adalah: Dari Kegelapan Menuju Cahaya. Armijn Pane yang memang sastrawan menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia pada tahun 1978 dengan kalimat yang lebih puitis “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Armijn Pane hanya mengambil 87 surat dari kumpulan surat-surat Kartini agar bisa lebih berkesan sebagai sebuah roman.

Louis Charles Damais hanya memilih 19 surat untuk diterjemahkan dengan sangat indah ke dalam bahasa Perancis berjudul “Lettres de Raden Adjeng Kartini, Java en 1900”. Surat-surat Kartini sendiri menurut pengantar dari buku ini selain diterjemahkan ke bahasa Belanda, bahasa Indonesia, juga pernah diterbitkan dalam edisi bahasa Inggris dan bahasa Spanyol. Surat seorang gadis Jawa dari tahun 1900 yang mendunia!

Membaca buku ini sendiri membawa saya pada proses pencerahan diri Kartini. Dari dalam kerinduannya akan pengetahuan dan pandangan awalnya yang mungkin memuja kemajuan dunia Barat. Lalu proses pendewasaan diri, dia mendapatkan pencerahan dan berhasil menemukan keindahan dalam budaya yang dimilikinya dan mencoba memajukan dengan mengedepankan pendidikan. Hal yang seharusnya masih bisa kita teruskan hingga saat ini.

Kartini memulai bersahabat pena dengan Stella karena dia menginginkan seorang teman wanita yang modern, seorang wanita yang memiliki kepercayaan diri, bisa berdiri sendiri, yang bisa memilih sendiri jalan kehidupannya, penuh antusiasme dan mau bekerja bukan untuk kesenangan pribadi semata melainkan juga untuk lingkungannya.

Kartini beruntung, Stella yang menjadi sahabat penanya adalah seorang gadis yang memiliki ide-ide feminis dan sosialis yang cukup maju pada saat itu. Banyak hal yang digali Kartini dari persahabatan melalui korespondensi dengan orang-orang yang memiliki budaya dan pendidikan yang berbeda darinya.

http://img230.imageshack.us/img230/9326/69517099lm8.jpgYang menarik untuk diperhatikan adalah pencerahan Kartini terhadap pemahaman agamanya sendiri. Pada awalnya ia mempertanyakan mengapa Al Qur’an harus dilafalkan tanpa ada kewajiban untuk memahami isinya. Dia mengerti benar bahwa agama seharusnya menjaga manusia dari berbuat dosa, tetapi sungguh banyak dosa yang diperbuat orang atas nama agama (Kompas, 2003). Betapa pendalaman yang benar terhadap agama akan membawa manusia menjauhi kekelaman dosa.

Kartini mengakui bahwa saling menolong dan membantu, serta saling mencintai itulah dasar dari segala agama. Walaupun dengan sangat kritis dia mengajukan berbagai pertanyaan dan kritik (seperti dalam hal poligami), tapi pada akhirnya dia yakin bahwa bagaimanapun ia akan tetap memeluk agamanya sendiri (Kompas, 2004). Dari menggali keberadaan agama-agama lain (termasuk agama Budha yang juga sering disebut dalam suratnya), dia memperoleh pencerahan yang memperkuat pelayanan keimanannya.

Ada yang mengatakan bahwa Kartini baru berpikir dalam konteks anak perempuan Jawa, tapi sebenarnya dia sudah berpikir melintasi batas regionalnya. Pada waktu mengembalikan beasiswa untuk studi di Batavia, ia mengusulkan seorang pemuda Sumatera untuk menggantikannya. Pemuda itu kemudian kita kenal sebagai Haji Agus Salim.

Dari buku terjemahan Damais ini saya terkesan pada surat Kartini yang menyatakan pembicaraannya dengan Van Kol. Van Kol menerangkan betapa besar kesulitan Kartini setelah belajar di negeri Belanda untuk pulang kembali ke negerinya. Bagaimana beberapa wanita Indonesia yang dikenalnya mengalami kesulitan karena menikah dengan orang Belanda, tidak bisa menyesuaikan diri dengan kehidupan di negeri Belanda sementara suaminya tidak bisa mengikuti kehidupan di Indonesia. Keterkejutan Kartini dituliskan kepada sahabatnya Stella (17 Mei 1902), bagaimana dia menerangkan bahwa keinginannya ke Belanda semata-mata hanya untuk belajar agar dapat menjadi tenaga pengajar yang baik di Indonesia.

Walaupun mungkin tidak dituliskannya secara mendetail, menurut pandangan saya Kartini menerima lamaran Bupati Rembang banyak didasari pada pemikiran yang mendalam dan rasional. Meneruskan pengembangan dirinya pribadi bisa jadi Kartini tidak akan pernah berakhir pada pengajaran kaum wanita. Ia menuruti perintah orang tuanya untuk menikah, karena tampaknya calon suami menjanjikan akan mendukung penuh kegiatan untuk mengajar bagi anak-anak wanita di Jawa (surat kepada Nyonya Van Kol, 1 Agustus 1903).

Apakah memperingati Hari Kartini berarti mengecilkan nilai kepahlawanan para pahlawan wanita lainnya? Menurut penulis pribadi, hal ini justru untuk mengingatkan kembali betapa banyak srikandi Indonesia yang pernah berjuang untuk negara.

Aceh, yang termasuk sangat maju pada zamannya, merupakan asal dari srikandi-srikandi yang secara fisik ikut berjuang mengangkat senjata. Kebudayaan di Aceh seperti yang tertulis di wikipedia, memang mendukung kemajuan emansipasi wanita. Tahun 1599 Laksamana Malahayati telah memimpin barisan perjuangan Aceh di laut. Pada abad ke 17 ada Ratu Safiatuddin.

Perjuangan Cut Nyak Dien (1850 – 1908) merupakan hasil didikan dari suami pertamanya Teuku Ibrahim Lamnga yang juga pejuang Aceh. Setelah suami pertamanya meninggal, Cut Nyak Dien sekali lagi mendapatkan pelajaran mengenai perjuangan dari suami keduanya Teuku Umar, yang kemudian Cut Nyak Dien sendiri meneruskan perjuangan Teuku Umar.

http://img236.imageshack.us/img236/678/15970047ee2.jpgMengapa Kartini? Karena Kartini yang menorehkan pena memperkenalkan keberadaan perjuangan wanita di Indonesia kepada dunia! Walaupun hanya menuliskan pandangan pribadi, mampu memperlihatkan visinya yang sungguh maju pada dunia. Dia sudah sepantasnya menjadi kebanggaan negeri ini. Mengenang Kartini bisa menjadi saat untuk mengenang perjuangan Cut Nyak Dien, Cut Meutia, Nyi Ageng Serang, Dewi Sartika, Ny. Walandau Maramis, Christina Martha Tiahahu, dan semua pahlawan wanita lainnya. Pahlawan tidak pernah berjuang untuk menorehkan nama emas, tapi untuk memperbaiki kehidupan orang banyak!

Bagi penulis, inilah makna yang lebih mendalam dari Hari Kartini, memperingati kebhinnekaan kita, mengingatkan kesatuan (Ika) kita dalam berjuang bersama-sama bahu membahu lelaki dan perempuan dalam memajukan bangsa Indonesia. Setiap daerah secara khusus memberi warna berbeda kepada kekayaan budaya dan perjuangan bangsa Indonesia.

Hari ini sungguh unik karena berbeda makna dengan makna Hari Ibu. Walaupun terkait dengan Kongres Wanita Indonesia, Hari Ibu pemaknaannya lebih banyak berawal dari budaya Mother’s day di luar negeri. Juga berbeda dengan makna hari Sumpah Pemuda, karena hari Sumpah Pemuda adalah titik mula pergerakan ke arah persatuan perjuangan bangsa sebagai satu kesatuan nasional, di mana bangsa kita bersepakat untuk menyatukan keragamannya ke dalam satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa. Sedangkan Hari Kartini adalah hari kita memaknai perjuangan para pahlawan wanita Indonesia.

sumber foto : -hitam putih : Lettres de Raden Adjeng Kartini, Java en 1900 (Ecole Francaise d'Extreme Orient, Forum Jakarta- Paris)-berwarna : koleksi pribadi

UNTUK APA HARI KARTINI DIPERINGATI

Seperti yg sudah2; hari ini kantor gue sekali lagi merayakan “Peringatan Hari Kartini” secara tradisional, konservatif, and.. quite shallow. Sad but true.

Masih ingat dengan tradisi di sekolah2 kita di negeri ini? Mulai dari jenjang TK, SD, SMP, SMA.. (pada bbrp kasus, bahkan hingga tingkat kuliah!). Bahwa “Peringatan Hari Kartini” – dan karenanya juga berarti sekaligus makna perjuangan Kartini; direndahkan maknanya sedemikian secara sistematis, hingga hanya identik dengan berbagai hal berikut:

* Lomba Berbusana Nasional, atau minimal, adanya kewajiban utk mengenakan busana nasional pada hari tsb. Apa itu busana nasional? Baca: busana tradisional JAWA – alias kebaya; yg ketat melekat tubuh maupun kerap transparan pada bagian2 tertentu, dan karenanya menonjolkan lekuk-liku tubuh wanita matang. Lagipula memang Indonesia hanya Jawa saja? Well, I’m half Javanese myself (the other half is said to be Arabic and a lil bit Dutch origin), but I am ASHAMED of this New-Order-Regime Javacentric culture.

* Lomba Memasak – alias (cynically saying) Lomba Keterampilan Dapur. Masih ingat pepatah lama tentang wanita idaman? Bhw wanita idaman (kalau nggak salah bunyinya) adalah wanita yg bisa membanggakan pasangannya di dapur, di pesta, dan di ranjang? Di dapur tentunya utk urusan memasak & domestik lainnya; di pesta utk dipamer2kan sbg barang “klangenan”; di ranjang berarti sbg partner sex yg memuaskan pasangan.

* Lomba Kebersihan..again, it’s all only about domestic partnership of woman.. Bahwa memang itulah peran yg dipersiapkan bagi mereka; yg dikatakan sbg layak & bermartabat.

* Ada juga yg agak intelek dan/atau berbudaya sedikit; misal lomba baca puisi2/surat2 Kartini, lomba paduan suara lagu2 wajib/daerah, etc. Cuma sayang, tetap nggak jelas apa yg kita inginkan dari berbagai lomba baca puisi dsb itu. Apa hubungannya antara baca puisi/ nyanyi2 versus peran serta wanita?

Apa iya memang itu tujuan perjuangan Kartini? Apa iya Kartini hanya layak utk dijadikan sbg icon pengingat bagi kaum wanita; sebagai TAMPARAN untuk “menyadarkan”, tentang "peran wanita yg sebenarnya (dg nada sarkastis)" yg diharapkan suami, keluarga besar, masyarakat, serta bangsa dan negara ini???

Tentang sikap munafik masyarakat kita, yg beramai-ramai menyatakan diri sbg pendukung perjuangan Kartini dan peran serta wanita yg lebih luas dalam masyarakat, tetapi juga yang secara ABSURD merasa perlu untuk mendirikan Kementerian Urusan Peranan Wanita? Atau minimal, keberadaan Sayap/ Bagian Khusus Wanita pada berbagai organisasi sosial/kemasyarakatan/politik/agama?

Kalau benar, sungguh kasihan nasib wanita, dan tentunya bangsa ini; yg memandang (dan merasa bangga dengan retorika kosong) bahwa “emansipasi (wanita)” sbg hanyalah sekedar acara rutinitas seremonial bersanggul & berkebaya semata.

Di sela kesibukan dan ketegangan mempersiapkan rapat penting di Sudirman pagi tadi, dg getir gue mengingat ucapan salah satu Bos gue (she’s a woman herself!!);

“…dulu itu (kantor) kita biasa ngerayain Hari Kartini scr meriah; ibu2 pada pake sanggul & kebaya, ada lomba2 masak & busana nasional, ada seminar ttg kewanitaan, dan libur setengah hari (tetap ngantor, hanya tdk bekerja) utk terlibat aktif dlm acara2 itu.. Kalian yg muda2 (talked to my female young colleagues) HARUS mempertahankan acara itu. Udah kebiasaan, kan?..”

Dengan kata lain, itulah bentuk penghargaan kita thd Kartini, dan karenanya terhadap wanita pada umumnya. Pun ternyata oleh sebagian kaum wanita itu sendiri. Dengan cara memberikan domestic privillege.. Secara tidak langsung dan halus membatasi, mencontohkan, serta mengharapkan bagaimana sebaiknya seorang wanita baik2 bersikap, bertindak, dan mengaktualisasikan dirinya – terbatas pada peran domestik belaka. Dan dengan menafikan peranan lebih besar yg (sesungguhnya) dapat mereka berikan.

Eva Kusuma Sundari:

Kartini Sosok yang Humanis dan Nasionalis

30/04/2007

Tapi kalau cara-cara keislaman masih memosisikan perempuan di kelas dua, perempuan hanya obyek, komoditas, hanya pabrik untuk anak, berarti kita melanjutkan zaman jahiliyah yang tidak ada kemajuannya bagi peradaban. Hal ini sebetulnya pelecehan terhadap agama Islam.

Di Indonesia, Kartini dikenal sebagai tokoh pejuang emansipagi bagi kaum perempuan. Namun di sini lain, Kartini adalah korban kekerasan. Bagaimana memahami sosok Kartini ini, berikut petikan wawancara Kajian Islam Utan Kayu dengan Eva Kusuma Sundari, aktivis perempuan dan anggota DPR dari F-PDI di Kantor Berita Radio (KBR) 68H, Jakarta

Bagaimana Anda memahami sosok Kartini?

Eva SundariSaya melihat Kartini sebagai sosok yang humanis dan tokoh perempuan nasionalis pertama. Karena nuraninya digerakkan ketika melihat dikotomi-dikotomi kemanusiaan di masyarakat. Dalam surat-surat yang dia tulis, menampilkan sosok Kartini yang gelisah. Kenapa inlandeer (pribumi) mempunyai nasib bodoh, miskin dan sebagainya. Sementara yang white colour people , yang kolonial kok nasibnya baik. Demikian juga kenapa harus ada kelas laki-laki dan perempuan: laki-laki bisa sekolah, tidak diharuskan kawin muda, tidak dipingit, dipoligami sebagaimana perempuan di zamannya. Sebagai tokoh humanis, dia melihat problem-problem kemanusiaan misalkan kaum perempuan waktu itu mendapatkan lapis-lapis kelas marginalisasi yang bersusun-susun tebal. Dia adalah inlandeer , di dalam lingkungan inlandeer sendiri ada didiskriminasi dari pihak laki-laki karena masyarakat kita masih feodal dan patriarkis. Saya melihat Kartini bukan sekadar sebagai tokoh feminis, dan emansipasitoris, lebih dari itu dia adalah tokoh kemanusiaan dan kebangsaan.

Kesadaran kebangsaan itu muncul ketika dia menyadari sebagai pribumi?

Iya sebagai pribumi kenapa tidak punyak hak apa-apa atas buminya sendiri. Kenapa kok tidak mempunyai kekuasaan atas tanah sendiri. Kenapa harus membayar pajak pada bangsa penjajah. Kenapa tidak memiliki akses yang luas terhadap pendidikan. Kenapa pendidikan hanya diperuntukkan pada kelas ningkrat, sementara rakyat jelata tidak. Itulah kegelisahan-kegelisahan dia. Isu-isu yang dia kemukakan sangat manusiawi. Dan kalau kita tarik ke zaman sekarang, Kartini sudah sangat pluralis, bukan hanya sekadar tokoh bagi kaum perempuan, tapi tokoh kemanusiaan. Pada saat itu belum ada orang yang terganggu sanubarinya melihat dikotomi dan kontradiksi yang ada di masyarakat.

Sebagai seorang perempuan, bagaimana anda melihat sosok Kartini?

Peran dan kotribusi terbesar Kartini itu membuka kesadaran kita. Kesadaran perjuangan terhadap keadilan, kesataraan, pandangan dan tindakan yang manusiawi dan sebagainya. Tapi sayangnya cara kita memperingati Hari Kartini seperti kembali ke belakang, seremonial. memuja-muja Kartini. Buat apa kita muja-muja dia? Dia tidak perlu dipuja-puja. Yang penting kan tindak lanjutnya. Membuka kesadaran itu kan perlu tindak lanjut, perlu action . Nah, sekarang tantangan kita adalah apa yang akan kita lakukan setelah kesadaran itu dibuka oleh Kartini. Jadi kontribusi terbesar Kartini itu membuka kesadaran itu.

Terutama terhadap kaum perempuan sendiri ya?

Ya, tentang status perempuan, tentang nasib, dan implikasi statusnya itu terhadap ekonomi, politik, dan hak akan pendidikan. Sebetulnya contoh dari Kartini yang mampu kita tauladani sekarang adalah dia yang berani melawan hegemoni yang coba ditanamkan oleh lingkungannya. Dalam judul buku yang ditulis Pramodya Ananta Toer Panggil aku Kartini Saja , menunjukkan bahwa Kartini tidak mau dianggap sebagai seorang bangsawan, sebagai raden ajeng, mengapa dia melawan tradisi itu?

Dia sadar, gelar bangsawan hanyalah label tipuan. Dia dilabeli sebagai raden ajeng, tapi dia tidak pernah mendapatkan hak istimewa, dia malah dikawinkan paksa oleh amtenaar (bupati). Jadi apa gunanya label ini? Karena yang ada malah membatasi kebebasan dan keinginan dia untuk sekolah ke Belanda dan ke Betawi. Seperti halnya perempun sekarang, dilabeli tiang bangsa, dilabeli pendidik utama, tapi nasibnya kok jelek banget. Ini warisan pendidikan kita yang tidak benar sampai sekarang. Jangan tertipu dengan label-label yang dampaknya sebenarnya adalah marginalisasi.

Namun sebagai seorang bangsawan, Kartini mendapatkan kesempatan pendidikan yang tidak dirasakan oleh kalangan jelata?

Dia mendapatkan hak itu tapi tidak efektif kan? Karena kemudian dia dipaksa kawin. Sebetulnya dia mendapat beasiswa untuk sekolah ke Belanda, demi ketaatan kepada orang tua. Untungnya beasiswa itu kemudian diberikan kepada (Haji) Agus Salim, orang yang tidak dia kenal, dan dia adalah laki-laki, pelajar dari Sumatra Barat. Kartini melihat Agus Salim ini sosok potensial, dan penglihatan dia benar. Dengan memilih Agus Salim yang berasal dari Sumatra Barat, maka Kartini telah memiliki jiwa kebangsaan.

Pram menyebut Kartini telah lepas dari jebakan “provinsialisme”, ketika dia memberikan beasiswa itu kepada Agus Salim yang dari Sumatra Barat, Kartini tidak memilih orang dari Jawa.

Betul sekali. Sikap Kartini itu bisa menjadi kritik terhadap kesadaran kebangsaan yang menipis saat ini, tidak sedikit masyarakat Indonesia terjebak pada isu kedaerahan, demokrasi kita saat ini malah menuju demokrasi primordial dan sektarian. Di sini Kartini menjadi contoh. Bagaimana dia bisa melepas kotak-kotak primordial kedaerahan itu.

Melalui beberapa tulisannya menunjukkan deraan psikologis terhadap Kartini sebagai seorang anak. Kartini lahir dalam keluarga yang harus berpoligami, Setelah ibunya melahirkan dia harus pisah, karena ibunya bukan keturunan ningrat, bagaimana anda melihat kehidupan sosok Kartini yang seperti itu?

Saya sangat prihatin dan sedih. Kartini adalah korban dari praktik dominasi dan marginalisasi yang berlapis-lapis, baik sebagai anak, dan perempuan dewasa. Proses kreatif Kartini dan rasa kemanusiannya berpangkal dari kekerasan yang dialami sebagai anak. Hidup Kartini menunjukkan pada kita bahwa dalam masyarakat feodal dan patriarkhis, semua social cost nya yang menanggung adalah perempuan, dan anak-anak. Dan Kartini telah menuliskan beberapa keluh kesahnya tentang hal ini. Betapa dia kesepian dan tidak tahu siapa emaknya. Karena sejak kecil dia dipisahkan dari ibunya dengan alasan kelas. Dia tidak diperbolehkan pergi sekolah jauh demi melanjutkan cita-citanya, malah dipaksa dipoligami sebagai istri kedua. Jadi dia harus mengulang lingkaran kekerasan itu, bedanya kemarin sebagai anak-anak, sekarang sebagai perempuan dewasa. Sangat tragis! Kartini sejak kecil tidak menikmati sebagai anak dari selir. Begitu pula ketika dewasa dia tidak menikmati hidupnya karena harus menjadi istri yang kedua. Jadi kalau sekarang isu ini dipakai sebagai alat kampanye dengan alasan sangat Islam, maka saya sangat prihatin. Kok malah mundur? Zamannya kok Kartini mau diulang?

Pada zaman Kartini, poligami itu didasarkan pada doktrin agama Islam, bagaimana tanggapan anda?

Saya tidak rela kalau Islam direduksi maknanya yang membawa keadilan dan kebebasan kepada makna yang sesungguhnya mengerdilkan Islam itu sendiri. Dan Islam menjadi norak. Padahal Islam itu menjamin kesetaraan. Dan di hadapan Tuhan itu hanya taqwanya yang membedakan. Tidak ada yang berbasis jender. Muslim itu syarat pertamanya harus cerdas, jangan taklid. Saya kalau diceramahi orang-orang yang pakai sorban atau pakai simbol-simbol agama tapi pesannya tidak mencerdaskan, saya malas dengar. Itu penipuan terhadap Islam.

Ada tudingan bahwa ide-ide Kartini yang sangat maju karena Kartini “terbaratkan” dia lebih terpengaruh oleh ide-ide dari Belanda, bukan dari Nusantara, bagaimana tanggapan anda?

Saya tidak setuju bahwa ide tentang egalitarianisme atau humanisme itu selalu datang dari Barat. Di Indonesia, dalam Islam misalnya, aspek-aspek itu ada, hanya tidak pernah dielaborasi. Agama dari dulu sampai saat ini dijadikan alat tunggangan untuk dominasi. Tidak bisa mendominasi orang lain, maka istri dan anak-anaknya yang menjadi korban. Untuk mengelaborasi aspek-aspek kesetaraan, dan humanisme itu harus proses demokratisasi dalam Islam. Kita hanya telat, bukan tidak punya. Tapi kalau cara-cara keislaman masih memosisikan perempuan di kelas dua, perempuan hanya obyek, komoditas, hanya pabrik untuk anak, berarti kita melanjutkan zaman jahiliyah yang tidak ada kemajuannya bagi peradaban. Hal ini sebetulnya pelecehan terhadap agama Islam.

Dan itu menunjukkan bahwa ide-ide Kartini itu berbasis pada dirinya sendiri dan bukan karena pengaruh Barat?

Sama sekali tidak. Karena basisnya pengalaman dan pengamatan dia. Dan bagaimana sensitifitasnya mampu merasakan kejanggalan-kejanggalan yang dialaminya sendiri, seperti dipingit, dikawinkan muda, dan sebagainya.

Kartini mengkritik feodalisme Jawa, tanggapan Anda?

Jawa itu stratifikasi sosialnya juga banyak. Kalau saya ditanya Jawa Pesisir sangat egaliter, kebetulan Kartini hidup di masyarakat Jawa yang penuh tipu-tipu dan norma-norma yang membelenggu. Jadi norma Jawa itu seperti Islam sangat beragam, dan tergantung kita mau pilih yang mana. Contohnya dari doktrin Islam itu mau diambil yang menjustifikasi poligami atau yang membebaskan perempuan. Seperti halnya Soeharto, mengambil nilai-nilai Jawa yang bisa untuk mendominasi dan melanggengkan kekuasaan. Tapi ada juga nilai-nilai Jawa yang digunakan untuk pembangkangan atau pemberontakan terhadap dominasi.

Kartini tidak hidup pada lingkungan agama yang kuat, namun Kartini mampu memahami makna agama dengan baik melalui kekuatan akal budi dan nurani, mengapa hal itu terjadi pada Kartini?

Kartini sudah sampai pada tingkat substansi, bukan lagi pada bungkus. Misalnya subtansi agama itu adalah welfare (kesejahteraan). Agama itu mendorong perempuan agar tidak bodoh dan miskin. Misal lain, mencuri dan korupsi itu dilarang. Di semua agama ajaran itu ada. Oleh karena itu agama adalah sumber perilaku kita, bukan sebagai alat propaganda untuk mencari kekuasaan. Orang beragama membawa misi kebaikan di dunia. Di setiap agama, potensi itu ada. Tapi kacaunya tiap agama kan ada aja yang menggunakan untuk mencari kekuasaan. Sehingga menyebabkan kerusakan yang dia timbulkan. Misalnya berteriak “Allah Akbar!” sambil merusak tempat ibadah dan menzalimi orang lain. Dan itu selalu ada di setiap elemen ekstrimis fundamentalis di setiap agama. oleh karena itu kita harus hati-hati. Nah, Kartini sudah terkelupas dari bungkus-bungkus agama itu.

Perempuan sering dipuji sebagai “tiang negara”, apa maknanya bagi Anda?

Saya ingin mengkonsepsi ulang tentang sebutan “tiang negara” itu. Bung Karno pernah berbicara tentang hal ini, yang diambilnya dari hadis Nabi. Beliau bilang perempuan adalah tiang bangsa. Sebagai “tiang” dia memiliki ukuran. Kalau kita main data, dengan data UNDP misalnya, di mana peran perempuan dalam masyarakat sangat tinggi, perempuan terbebas dari buta huruf, mereka mendapat pendidikan dan pengakuan yang setara, negara itu disebut negara yang sejahtera. Artinya perempuan di negara itu sebagai “tiang” dan “ukuran”. Sedangkan di Indonesia, sekedar contoh, di Kabupaten Sampang angka drop out siswa perempuan sangat tinggi. Maka angka capaian hidup itu rendah sekali. Ketika kita teliti lebih jauh, ternyata ibu-ibu di sana tidak tahu sanitasi, tidak mengerti tentang obat-obatan, makanan bergizi dan sebagainya. Mereka juga tidak tahu bahwa banyak nonton televisi bagi anak-anak itu malah membodohi. Kondisi itulah yang membuat kualitas hidup rendah. Di sini makna perempuan sebagai tiang negara. Kaum ini adalah ukuran yang jelas bagi kesejahteraan sebuah negara. Oleh karena itu, sebagai perempuan jangan mau terus-menerus dibodohi, dikunci di kamar, disuruh hamil terus menerus, merawat anak dan lain-lain.

Di zaman Kartini, perempuan dinista melalui adat dan agama, sekarang, ada RUU APP yang melecehkan perempuan, apa tanggapan Anda sebagai salah satu tim perumus RUU itu?

Pengalaman saya, RUU APP ini memang sangat menguras energi saya. Dan saya bersyukur saya bisa masuk dalam tim perumus. Karena RUU APP mendapat respon yang sangat besar baik yang pro maupun yang kontra, maka tim perumus melakukan drafting ulang. RUU APP versi sekarang sudah ada standar-standarnya. Misalnya UU negara itu mengurus wilayah publik, bukan wilayah privat, berbeda dengan RUU APP versi pertama yang malah mengurusih aspek privat perempuan. Saat ini, RUU APP ditekankan pada regulasi terhadap tiga aspek: produksi, perederan, dan penggunaannya. Dan kita sepakat bahwa UU pornografi ini tidak menghabiskan semua bentuk pornografi. Misalnya masih dibutuhkan untuk pendidikan, penelitian dan sebagainya, nah di sini perlu ada regulasi.

Tidak ada komentar: